Senin, 12 Juni 2017

Review Buku : The Silkworm by Robert Galbraith

Pengarang: Robert Galbraith
Tahun Terbit: 2014
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Genre: Mystery, Thriller, Detective
Negara: London, England (United Kingdom)
Pages: 540 pages

Rating : 4/5

Sinopsis dari Cover Belakang:

Seorang novelis bernama Owen Quine menghilang. Sang istri mengira suaminya hanya pergi tanpa pamit selama beberapa hari —seperti yang sering dia lakukan sebelumnya lalu meminta Cormoran Strike untuk menemukan dan membawanya pulang.

Namun, ketika Strike memulai penyelidikan, dia mendapati bahwa perihal menghilangnya Quine tidak sesederhana yang disangka istrinya. Novelis itu baru saja menyelesaikan naskah yang menghujat orang banyak. Yang berarti ada banyak orang yang ingin Quine dilenyapkan.

Kemudian mayat Quine ditemukan dalam kondisi ganjil dengan bukti-bukti telah dibunuh secara brutal. Kali ini Strike berhadapan dengan pembunuh keji, yang mendedikasikan waktu dan pikiran untuk merancang pembunuhan yang biadab tak terkira.

“You can’t plot murder like a novel. There are always loose ends in real life.”
 


MY REVIEW:

"Klien-ku tidak bersalah!" 

Itulah keyakinan Cormoran Strike untuk tetap menyelidiki kasus Owen Quine dengan gigih meskipun penuh dengan rintangan, halangan, kecaman, ancaman, bahkan kemungkinan tidak mendapat bayaran yang sesuai. Klien-nya, Leonora Quine —istrinya Owen Quine, memang tidak begitu bagus dalam membuktikan dirinya sendiri bahwa ia tak bersalah. Malah sikapnya dalam menghadapi berita kematian suaminya, menunjukkan hal yang sebaliknya. Susah payah Strike berusaha menggali, mencari tahu, menganalisis dan mewawancarai orang-orang yang terlibat dalam kasus kematian Owen Quine.

Source: Goodreads

Bombyx Mori —yang artinya Ulat Sutra, novel terakhir yang ditulis oleh Owen Quine sebelum ditemukan meninggal dengan cara yang sangat mengenaskan (dan mengerikan kalau boleh aku tambahkan), merupakan kunci untuk menemukan siapa pelaku yang sesungguhnya. Buku ini bercerita tentang hidup Quine dengan orang-orang yang ada dalam kehidupannya. Apakah Elizabeth Tessel (agen penerbitan Quine), Kathryn Kent (kekasih gelap Quine), Jerry Waldegrave (editor Quine), Daniel Chard (penerbit Quine), Michael Fancourt (penulis dan juga mantan sahabat Quine), Pippa Midgley (murid Quine), ataukah Leonora Quine (istri Quine) sendiri yang paling memungkinkan menjadi pembunuh sesungguhnya? Mereka semua punya alasan dan motif yang kuat. Bombyx Mori benar-benar novel buruk dengan isi yang keji dan penuh penghinaan kepada tujuh orang ini. 

Ketika Strike menggali satu persatu alibi dan kehidupan pribadi masing-masing tersangka, satu demi satu rahasia mulai terkuak. Strike yang awalnya berada di jalan buntu karena kegiatan investigasi-nya harus terhalang oleh pembatasan dari polisi —mereka masih sensi dengan kasus Lula Landry yang berhasil dipecahkan Strike di buku sebelumnya, juga dari keterbatasan tubuhnya sendiri (tungkai-nya kembali sakit dan ia barusan jatuh lagi, berjalan menjadi lebih susah sejak insiden itu), berhasil menemukan titik terang berkat bantuan dari orang-orang yang ada di sekitarnya.

Jadi siapakah pembunuh keji yang tega membelek perut Owen Quine dan menyembunyikan ususnya di antara ketujuh tersangka? Benarkah keyakinan Strike bahwa klien-nya —Leonora Quine, bukanlah pelaku yang sesungguhnya, meskipun bukti-bukti itu justru mengarah pada Leonora dibanding tersangka yang lain?

“...writers are a savage breed, Mr. Strike. If you want life-long friendship and selfless camaraderie, join the army and learn to kill. If you want a lifetime of temporary alliances with peers who will glory in your every failure, write novels.” 
Source:Goodreads

Akhirnya, another book review! Aku cukup senang dan bahagia nulis review kali ini. Minat untuk nulis review itu akhirnya kembali! *senyum-senyum*. Buku yang menarik selalu memunculkan minat menulis yang suka datang dan pergi sesuka hati. Walaupun awalnya sangat males untuk baca buku ini, tapi karena kangen banget baca buku lagi setelah menamatkan The Girl on The Train kemarin dulu (yang menurutku ga bagus-bagus amat, makanya review nya belum aku tulis sampe sekarang), The Silkworm ternyata bener-bener menarik dan bikin nagih. Berbeda dengan buku sebelumnya, The Cuckoo's Calling —yang agak membosankan itu, buku kedua menegangkan dan menggelitik rasa penasaran dari awal sampai akhir.

Ga seperti kebanyakan kutu buku lain yang kayanya cinta banget sama kota New York —dengan semua kemegahan dan ke-magisan-nya itu, aku lebih menyukai London sebagai latar belakang lokasi dalam novel. Entah itu karena bawaan Harry Potter —yang amat kucintai itu (yang setting-nya di Inggris), atau karena faktor lain, aku ga begitu peduli. Aku selalu suka Eropa. Dan kota-kotanya yang cantik. Di situlah detektif Cormoran Strike melalang buana menyelidiki kasus-kasus yang ia terima. Itu nilai plus tambahan yang buat aku betah banget memelototi tulisan setebal 540 halaman. 

Karena membaca serial Cormoran Strike ini bikin aku merasa 'benci tapi rindu'. Detektif kita ini cenderung lebih banyak menyimpan pikirannya buat diri sendiri —dengan kata lain dia ga mengutarakan si A bohong ataupun jujur, kita harus menebak-nebak dan jeli terhadap clue samar-samar yang ada di sepanjang buku. Kadang memang ini sangat menyenangkan saat semua terungkap di akhir. "Oh ya ampun itu toh maksud dia bilang gitu", you will definitely say that! I'm 100% sure! This book will blow your mind! Tapi ada masa-masa ketika sang detektif masih melakukan penyelidikan, dan kita para pembaca akan merasakan 'gelap gulita', no clue at all. Saat itulah gambaran kota London yang cantik mencegahku melempar buku ini ke sudut ruangan. Ha! 

Source: Here
The Simpson's Restaurant

Ga seperti buku sebelumnya juga —yang ampun-ampun boring-nya, kasus kali ini terasa lebih mencekam dan membuat perut mual. Kira-kira gimana reaksimu ketika membaca deskripsi penemuan mayat yang mengerikan macam mayat Quine? Dimana mata dan mulutnya menganga kosong karena disiram zat asam ditambah isi perut yang dikeruk bersih dan disiram zat asam juga. Ugh! Kira-kira bagaimana proses pembunuhannya? Apakah Quine dibelek hidup-hidup atau dibunuh dulu baru dibelek? Aku jadi merasa ini ironis, kenapa kasus yang super keji dan berdarah-darah (juga melibatkan organ dalam manusia) seperti ini yang membuat buku ini semakin menarik, hingga susah untuk dilepaskan. 


Well, bisa jadi itu emang kelebihan Robert Galbraith —nama alias J.K. Rowling. Kapan sih beliau bikin bagu ga bagus? Aku bener-bener butuh mengapresiasi talenta-nya. Buku ini jelas segment-nya. Bisa kelihatan pembaca mana yang ia bidik untuk melahap serial baru-nya ini. Beda 180 derajat dengan Harry Potter namun dengan sentuhan magis yang sama. Tulisannya super dewasa disini, aku suka karakter utama yang anti-hero, dengan deskripsi fisik yang sangat manusiawi —tinggi besar, rambut kaya jembut (seriously, they called his hair like that, aku bukan meso ini hahaha), sangar, berkaki satu, tapi jeli dan cerdas. Untung saja terjemahannya bagus dan enak dibaca, karena kalau enggak, aku jelas-jelas sudah melempar buku ini jauh-jauh setelah baca beberapa lembar halawan awal. 

Overall, buku ini layak di koleksi. Aku juga ga sabar untuk liat versi live-nya, yang katanya mau dibikin dalam bentuk serial TV! Good job, mam! :* Buku selanjutnya, Career of Evil, juga kelihatannya menarik, walaupun mengandung kekejian. Ironisnya —.lagi-lagi, justru hal itu yang menjanjikan sesuatu yang menarik dan menegangkan untuk disimak. Kalau boleh jujur, aku memang lebih memilih kasus yang savage dibanding yang datar dan membosankan. Last but not least, thank you for reading and have a nice day! ^^

“The whole world's writing novels, but nobody's reading them.”

1 komentar:

  1. Download novel The Silkworm versi terjemahan format pdf, sila kunjungi link berikut ;
    https://myebooknovel.blogspot.com/2020/07/the-silkworm-robert-galbraith.html

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...