Senin, 23 November 2015

Movie Adaption Review : The Hunger Games Mocking Jay Part 2


Movie Adaption of The Hunger Games: Mockingjay part 2


Film Mockingjay Part 2 sudah keluar di bisokop... Super yeay! I've been waiting this movie for so long!
Setelah bertahun-tahun mengikuti film The Hunger Games kemudian baca lengkap semua buku-nya dan setiap tahun selalu menunggu versi film-nya masuk di bioskop, akhirnya tayang juga film terakhir dari seri lengkap The Hunger Games trilogy, Mockingjay part 2! Setelah dengan baik hati dibeliin tiket via mtix supaya ga ketinggalan film ini, aku sudah selesai nonton Mockingjay hari Jumat tgl 20 November di studio IMAX TP 5 Surabaya. Let's get start to review it!

Note: Karena ini pertama kalinya aku mencoba me-review film adaptasi dari buku, aku benar-benar minta maaf kalau tulisan ini masih sangat kaku dan kurang profesional.

Okay, sebelumnya aku akan memperingatkan bahwa aku akan menuliskan SEMUA yang ingin aku komentari dari film ke dalam artikel, so this article contain so much spoilers


Film ini dibuka dengan adegan Katniss (Jennifer Lawrence) yang sedang dalam masa penyembuhan sehabis dicekik Peeta (Josh Hutcherson) yang telah dicuci otak oleh Presiden Snow (Donald Sutherland) di akhir Mockingjay part 1. Katniss kehilangan suranya akibat kejadian itu dan sedang dalam tahap rehabilitasi untuk memulihkan kembali suaranya. Katnis membutuhkan suaranya untuk kembali melakukan propaganda (pencitraan) untuk melawan Capitol. Aku tidak akan menuliskan dengan detail tiap adegan dalam film ―karena akan panjang sekali, aku hanya akan menuliskan adegan-adegan yang berkesan buatku dalam film Mockingjay part 2. Apabila dalam buku orang yang diijinkan untuk menemui Peeta setelah ia dicuci otak adalah teman Katniss (juga Peeta), di film orang tersebut digantikan oleh Prim (Willow Shield), adik Katniss. Ini adalah salah satu perbedaan dalam film yang aku pikir tidak terlalu signifikan mengingat orang yang digambarkan di dalam buku tidak pernah dimunculkan dalam film-nya. Perbedaan lainnya adalah mutan yang dikirim ke gorong-gorong untuk mengejar Katnis dkk. Seharusnya mutan yang dikirim oleh Snow berupa campuran manusia dan kadal, namun dalam film diwujudkan dalam bentuk manusia tak berwajah yang memiliki mulut lebar seperti monster. 

Mutan Buatan Capitol
Juga adegan rakyat Capitol yang menjadi korban dari kekejaman Pod milik Snow juga tidak dimasukkan dalam film. Perbedaan-perbedaan lainnya aku agak lupa karena aku sengaja tidak membaca buku-nya sebelum menonton film-nya. Aku ingin menikmati film-nya apa adanya tanpa perlu membanding-bandingkan dengan versi buku-nya. 

Namun jika boleh berpendapat, secara keseluruhan plot Mockingjay Part 2 sangat sesuai dengan buku-nya ―sejauh yang kuingat. Dan Mockingjay, tidak melenceng dan membuat perbedaan yang parah seperti Insurgent ataukah The Scorch Trials. Dari antara film adaptasi yang diangkat ke film, The Hunger Games merupakan salah satu film yang dengan setia dan kukuh mempertahankan plot dan alur yang sesuai dengan buku-nya. Itu salah satu alasan aku menyukai film The Hunger Games dan selalu menanti kelanjutannya di bioskop. Inti cerita dan kejadian-kejadian yang sangat aku nantikan dalam film ini masih sesuai dengan buku karangan Suzanne Collins


Yang sangat kuantisipasi dari film Mockingjay part 2 adalah adegan dimana Katnis dan Boggs, juga yang lainnya (Peeta, Gale, Finnick, Pollux dan Cressida) harus menelusup ke Capitol untuk memberontak langsung kepada Snow ―ini adalah satu-satunya ketegangan yang ada di film maupun buku Mockingjay. Saat mereka berhasil masuk ke Capitol, Katniss ingin membunuh Snow dengan tangannya sendiri. Itulah kenapa tim yang bertugas merekam aksi Katniss selama ini ikut serta dalam penelusupan ini. Adegan ini ―sejauh yang kuingat saat membaca bukunya, sangat mengerikan dan menurutku paling sadis dibandingkan dengan dua buku sebelumnya. Snow menjadikan perjalanan mereka untuk menelusup ke Capitol seperti permainan dalam Hunger Games (karena ia lagi-lagi bekerjasama dengan para Gamemaker) namun dengan skala yang jauh lebih mengerikan. Banyak sekali pod (ranjau) yang ditanam oleh Snow untuk menjebak mereka (ledakan api, senjata otomatis, kawat berduri, peacemaker, aspal panas maupun muts ―sejenis mutant buatan Capitol). Pod milik Capitol terbukti sangat ampuh dan mematikan. Meskipun Katniss dkk sudah memiliki Holo (semacam alat pendeteksi pod juga sekaligus peta wilayah Capitol) yang dipegang oleh Boggs, tim Katniss masih saja menjadi korban dari pod-pod yang dipasang pihak Capitol. 

Holo
Bahkan dalam prosesnya, Katniss harus kehilangan banyak sekali rekannya ―termasuk Bogss dan Finnick (juga banyak rekan yang lain) dalam perjalanan ini. (ops, spoiler)



Curhat: Adegan Finnick tewas adalah adegan yang paling kubenci dalam cerita Mockingjay. Bagiku kematiannya sungguh tidak perlu, tidak pada tempatnya dan sangat mengenaskan. Seharusnya Finnick tewas dengan gagah berani namun Suzanne memilih kematian yang sangat mengerikan untuk Finnick. Buatku itu kejam dan sangat menyedihkan. Aku tidak sanggup menonton bagian itu dalam film-nya dan meskipun dalam film kematian Finnick dibuat lebih sopan ―karena tidak diperlihatkan saat tubuhnya tercabik-cabik, tetap saja aku sangat sakit hati dengan adegan ini. Finnick benar-benar layak mendapatkan kematian yang jauh lebih baik :(

Setelah melalui perjalanan panjang yang berdarah-darah menuju Capitol, sesampainya di Capitol Katniss dan Gale harus menyusup berdua saja ke rumah Snow. Mereka menyamar menjadi penduduk Capitol yang ingin berlindung ―berkat bantuan Tigris (rekan Cressida yang juga rakyat Capitol) di rumah Snow. Namun saat itulah pihak Katniss ―di bawah pimpinan president Coin, melemparkan bom tepat ke Capitol. Rakyat Capitol tercerai berai dan lari tunggang langgang, membuat Gale dan Katniss terpisah satu sama lain. Para peacemaker menangkap Gale sementara Katniss terus maju sampai ke pintu gerbang rumah Snow. Di sana ia melihat tentara Snow memprioritaskan anak-anak untuk masuk terlebih dahulu. Sementara dari langit turun payung-payung kecil (yang biasa ada di Hunger Games untuk membantu peserta Hunger Games dari pihak Capitol) yang dikira sebagian rakyat besar Capitol merupakan bantuan (entah makanan atau obat-obatan) dari Presiden Snow.



Ternyata payung-payung itu adalah bom dan dalam sekejap mata membinasakan sebagian besar anak-anak Capitol. Di saat kekacauan akibat bom, Katniss melihat adiknya Primrose ―entah darimana, terjun langsung dalam kekacauan dan berusaha membantu anak-anak Capitol yang terluka. Begitu Katniss memanggilnya bom susulan meledak di antara Katniss dan Prim dan menewaskan Prim.


Replacing her little sister as the District 12 tribute, Katniss has given up everything for Prim — and then has to watch her die amid an explosion devised by her own people.

Film ini menuai begitu banyak opini. Entah banyak yang merasa adegan action-nya kurang greget ataupun kurang banyak, karakter Katniss juga kurang di eksplorasi sehingga Mockingjay terasa seperti roman picisan yang cemen antara Katniss Peeta dan Gale, juga penggambaran hubungan Katniss dan Snow yang anti-climax. Well, seperti yang kubilang berkali-kali di atas; film ini setia dengan materi yang ada di buku. Aku pikir itulah alasan film ini menuai banyak opini tidak memuaskan sebab seperti itulah perasaan yang muncul terhadap buku ketiga dari seri The Hunger Games: kecewa. Kami para pembaca buku-nya sudah dibuat kecewa berat sebelumnya dan sedih luar biasa dengan kisah penutup The Hunger Games yang dimulai dengan sangat baik juga keren ini. Kami berharap besar dengan ending dari Trilogy epic ini, tapi kami harus menerima kenyataan bahwa Suzanne Collins tidak mengabulkan harapan kami. Ia memiliki ide dan ideologi-nya sendiri untuk kisah yang sudah menyihir begitu banyak pembaca dystopia milik-nya. 






The Hunger Games diakhiri dengan pesan yang lebih pahit dan suram. Sutradara-nya dengan baik hati berfokus pada manipulasi media dan realitas perang ―sesuai dengan pesan yang aku tangkap setelah membaca buku Mockingjay. Melalui Mockingjay kita bisa melihat bahwa media bisa mencuci otak siapapun. Bila Snow dengan kejam menyiksa Petaa dan mencuci otak-nya untuk membunuh Katniss, apa beda-nya Coin (Julianne Moore) dengan Snow yang berusaha mencuci otak para penghuni distrik dengan menampilkan Katniss sebagai ikon yang bisa dikorbankan kapan saja hanya karena Coin merasa Katniss tidak bisa diatur olehnya? Siapa sangka Presiden Coin yang selalu mengelu-elukan dukungan untuk sang Mocking Jay (Katniss) di media sesungguhnya ingin membunuh Katniss karena menganggap Katniss merupakan ancaman untuk posisinya? Keduanya ―baik Snow maupun Coin, membenci Katniss karena ia simbol revolusi. Katniss memiliki potensi untuk menggerakkan hati masyarayat dan menggulingkan pemerintahan yang otoriter. Dan Katniss juga membenci otoritas yang semena-mena dalam wujud apapun, itu sebabnya ia tidak mau diatur dan dijadikan boneka oleh pihak-pihak yang berkuasa. Snow dan Coin sama di dalam pikiran mereka; kekuasaan dan otoritas penuh adalah impian gila mereka. Hanya saja mereka berusaha mewujudkannya dalam cara yang berbeda. 


Selain itu perang mengubah begitu banyak pribadi dalam cerita ini. Perang mengubah perspektif banyak orang ―termasuk rekan dekat Katniss sendiri, sehingga di akhir cerita kita akan melihat Katniss dalam wujud yang jauh berbeda dengan Katniss di buku atau film pertama. Ia menjadi skeptis dalam banyak hal dan ada sesuatu dalam dirinya yang tidak akan pernah sembuh. Di akhir cerita kita bisa melihat kehidupan Katniss yang datar dan jauh dari percikan emosi seperti di adegan-adegan awal kisah ini. Ia seperti kehilangan sebagian dirinya. Bagian itu hilang semenjak Prim tewas di depan matanya sendiri di tangan orang-orang yang mengaku sebagai pendukung besarnya. Politik dan perang mengubah Katniss seutuhnya sehingga ia tidak pernah lagi sama. Lebih mudah untuk menghadapi musuh besar kita dibanding musuh dalam selimut, seperti Presiden Coin. 

I wasn’t watching Coin. I was watching you, Mockingjay. And you were watching me. I’m afraid we’ve both been played for fools.
Oh, my dear Miss Everdeen. I thought we had agreed not to lie to each other - Presiden Snow 

Kalau ada yang berkomentar bahwa Mockingjay lebih suram dan depresif dibanding dua film sebelumnya, yang bisa aku katakan hanyalah sang sutradara telah dengan sukses mengadaptasi novel terakhir karangan Suzanne Collins ini. Buku ketiga serial ini memang suram dan depresif. Yah, memang film-nya tidaklah sempurna seperti harapan banyak orang, tapi buatku Mockingjay part 2 sangat baik menggambarkan adegan-adegan penting yang ada di buku ketiga The Hunger Games series. Jujur saja, buatku film-nya tidak mengecewakan. Film-nya memaksimalkan yang terbaik dari yang ada di buku dan menerjemahkannya dengan baik. Itulah sebabnya kadang aku suka sebel dan bete dengan para reviewers (atau komentator film) yang suka menghakimi film adaptasi tanpa membaca buku-nya terlebih dahulu. Karena film yang di adaptasi dari buku pasti memiliki titik kelemahan yang patut dimaklumi siapa saja. Sangat tidak mudah memasukkan isi buku ke dalam film. Tidak semua sutradara mampu melakukannya dengan baik. Aku tidak berharap terlalu tinggi dengan film-nya karena aku sudah tau akhir cerita dari serial ini ―dan aku senang mereka tidak mengubah apapun untuk ending-nya di dalam film, tapi ternyata aku malah menyukai versi film-nya lebih dari yang aku sangka. Bukanlah happy ending yang diharapkan semua orang namun sangat realistis dan bermakna. Film-nya justru membantuku lebih memahami inti cerita yang ditulis oleh Suzanne Collins ini dari akting dan mimik maupun dialog dari para pemerannya. Surprisingly, it's satisfied me :)


Last but not least, let me praise Jennifer Lawrence as our amazing Katniss Everdeen. Tidak akan ada yang bisa memerankan Katniss Everdeen sebaik Jennifer Lawrence. Akting-nya beneran kuereennnn bangettt! Belum lagi mimik wajahnya, benar-benar berbicara lebih banyak dibanding dialog panjang lebar yang ada di buku. Dia aktris yang sungguh luar biasa. Semenjak nonton The Hunger Games yang pertama aku langsung jatuh hati dengan akting-nya. Yeah, this is it! Our perfect Katniss! Dalam Mockingjay part 2 sekali lagi dia menunjukkan kelihaiannya berakting. Aku kira film ini tidak akan bisa sesukses ini juka bukan dia yang berperan sebagai Katniss. Juga aku sangat menyukai Josh Hustcherson sebagai Peeta. Chemistry di antara mereka benar-benar bagus, juga aktingnya saat menjadi Peeta versi seusai cuci otak benar-benar briliant. I Love it! Memang dia aslinya pendek dan kalah tinggi dibanding Jennifer, tapi itu tidak mengurangi kualitas akting-nya. Aku juga harus angkat jempol untuk Liam Hemsworth yang bisa menunjukkan sisi Gale yang sangat tidak kusukai ―tapi tetep ganteng dan loveable, di film ini. 


Akhir kata goodbye Hunger Games. Seusai nonton film-nya aku merasa sedikit hampa dan sedih karena setelah ini tidak ada lagi Katniss, tidak ada lagi Hunger Games yang selalu aku nanti-nantikan setiap tahunnya, tidak ada lagi perang distrik yang kutunggu-tunggu kelanjutannya, juga tidak ada lagi baju-baju bagus yang selalu digunakan Katniss dalam film, tidak ada lagi kisah Katniss dan peeta. It's make me little disappointed more than the story itself. It's really make me sad :(


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...