Selasa, 13 Februari 2018

Review Film :Tokyo Ghoul (2017)


Siapa yang masih suka baca manga (komik) Jepang? Kalau kalian suka baca komik Jepang, so welcome to the club! Aku bisa dibilang masih menggandrungi manga Jepang, walaupun ga gandrung-gandrung amat ya. Secara drama Korea dan serial Netflix jaman now mudah diakses jadi mengurangi waktu membaca manga. Bagi penyuka manga Jepang pasti ga asing dengan judul "Tokyo Ghoul". Manga terkenal yang kemudian dibuat serial anime-nya ini akhirnya diangkat ke live action. Sebagai salah satu pembaca manga-nya, tentu aja aku ga mau melewatkan seri live action-nya. Aku emang ga interest nonton anime-nya (maklum kutu buku, gimana-gimana lebih suka versi asli) tapi aku ga keberatan menjajal film-nya.


Sebelum mengomentari versi film Tokyo Ghoul, ada baiknya kenalan dulu dengan latar belakang dan dunia yang diceritakan dalam seri Tokyo Ghoul. Buat pembaca setia-nya (kaya saya, ehem) pasti uda ga asing dengan "darah" dan "daging manusia" yang menghiasi lembaran demi lembaran manga-nya. Yup, Tokyo Ghoul bercerita tentang keberadaan makhluk —disebut Ghoul, yang tingkatannya lebih tinggi dari manusia dalam rantai makanan. Kenapa lebih tinggi? Karena makanan mereka adalah manusia. 

Ghoul bisa dibilang monster yang berwujud manusia —mereka berbaur dengan manusia, berwujud persis seperti manusia normal, tapi di saat lapar mereka memburu manusia sebagai mangsa. Bagaimana caranya? Setiap Ghoul punya "senjata" atau organ khusus dalam diri mereka yang menjadi ciri khas mereka. Senjata ini disebut Kagune. Kagune berwarna merah darah, mereka bisa mengeras dan melunak terserah sama Ghoul yang mengendalikannya. Saat berburu mangsa mereka, Ghoul menggunakan Kagune mereka untuk melumpuhkan mangsa. Yah, sebut aja alat pencacah daging. Mereka memutilasi mangsa dengan Kagune mereka (yaiks, yeah I know what you think about that).

Oh you have no idea...

Keberadaan mereka dan kelebihan mereka (baca: Kagune) diketahui dengan baik oleh manusia, karena itu sebagai wujud perlindungan diri dari para Ghoul, manusia memiliki CCG (Commission of Counter Ghoul)— komisi khusus dalam kepolisian yang tugasnya memburu Ghoul. Dan, lakon utama kita dalam serial ini adalah seorang remaja lemah bernama Ken Kaneki yang hidupnya berubah 180 derajat setelah secara tidak sengaja ia selamat dari terkaman seorang Ghoul wanita bernama Rize Kamishiro


Kaneki, yang selamat dari serangan Rize (perut samping Kaneki tertusuk kagune Rize —Rinkaku) setelah ditolong oleh seorang dokter (dengan memberinya donor organ dari tak lain dan tak bukan, Rize sendiri!!) mendadak merasakan perubahan aneh dalam selera makan-nya. Dia ga lagi doyan makanan manusia, bawaanya muntah terus tiap makan makanan manusia normal. Malahan dia mendadak jadi bernafsu setiap ngeliat manusia. Tak lama dia menyadari perubahan mengerikan lain dalam dirinya, yaitu salah satu matanya berubah hitam kelam dengan pupil mata merah darah setiap kali ia merasa sangat kelaparan. Persis seperti mata Ghoul! Sadarlah Kaneki bahwa donor organ dari Rize yang dilakukan untuk menyelamatkan nyawanya ternyata malah merubahnya menjadi makhluk setengah manusia dan setengah Ghoul. Ironis. Tidak berdaya, Kaneki mau tidak mau harus menerima kenyataan dan mulai belajar beradaptasi dengan kehidupan baru-nya sebagai makhluk hybrid.


Hal ini menghantarkannya bertemu dengan komunitas Ghoul terdekat yang berhasil ia temukan (cafe tempat ia biasa nongkrong dengan sahabat-nya ternyata sarang Ghoul —ironis tahap dua). Komunitas Ghoul di Distrik 20 (daerah tempat tinggal Kaneki) menamakan diri mereka Anteiku. Sebuah komunitas Ghoul yang memiliki motto "Sesama Ghoul harus saling membantu". Mereka hidup dengan mengumpulkan jasad manusia yang bunuh diri. Itulah alasan utama Kaneki mau bergabung, mereka bukan Ghoul barbar yang melahap daging manusia hidup-hidup seperti Rize.

Markas besar mereka merupakan sebuah kedai kopi (nantinya Kaneki mengerti alasan para Ghoul ini membuka kedai kopi alih-alih kedai lainnya di tengah-tengah manusia) yang beranggotakan seorang Manajer (Yoshimura, pria paruh baya yang kelihatan sabar dan bijaksana, Pelayan Pria (Koma, penyeduh kopi yang suka bercanda), Pelayan Perempuan Berambut Pendek (Touka, yang dari luar terlihat tomboy dan dingin tapi sebenarnya baik hati) dan Pelayan Berambut Panjang (Irimi, tidak terlalu banyak berperan dalam film). Melalui kedai inilah Kaneki akhirnya bertemu dengan Ghoul lain, seorang ibu dan anak bernama Ryoko dan Hinami Fueguchi. Kedua Ghoul inilah yang nantinya membuat kehidupan baru Kaneki sebagai makhluk setengah Ghoul semakin seru —atau malah semakin mengerikan.

Kaneki akhirnya dihadapkan dengan dilemma yang selalu dirasakan manusia dan para Ghoul yang hidup berdampingan di dunia. Siapa yang salah dan siapa yang benar? Benarkah membasmi para Ghoul untuk melindungi umat manusia disebut kebenaran? Lalu, apakah salah bila para Ghoul merasa berhak untuk hidup walau konsekuensinya mereka harus membunuh manusia untuk bertahan hidup?


Intriguing. Ini yang aku tangkap saat baca manga-nya. Karena itu aku betah berlama-lama mentelengin gambar-gambar dalam manga Tokyo Ghoul meski kadang gambarnya bikin mual. Rasa ingin melindungi dan rasa ingin membunuh bercampur jadi satu dan membuat semuanya rumit, tiba-tiba dunia ga lagi hitam dan putih. Ada area abu-abu yang dimasuki oleh Kaneki. Lakon utama kita bukan manusia sepenuhnya, tapi juga bukan Ghoul sepenuhnya. Kaneki ada di tengah-tengah. Kaneki bukan monster yang suka makan teman sendiri tapi dia juga ga sudi membunuh teman Ghoul-nya. Walaupun terkadang dia harus melakukan kedua-nya, tapi itu semata-mata untuk melindungi orang yang dia sayangi. Dan bukankah itu yang selama ini diperjuangkan kedua belah pihak —baik Ghoul dan manusia yaitu, melindungi orang-orang yang mereka sayangi?



Konflik batin ini diseberangkan dengan bagus sekali oleh aktor pemeran Kaneki di film, Masataka Kubota. Masataka Kubota punya wajah culun persis Kaneki yang diceritakan dalam komik. Tapi culun cuma salah satu dari ribuan ekspresi luar biasa yang bisa ditampilkan Kubota. Meskipun Kaneki diceritakan masih remaja, Kubota sendiri aslinya berumur 29 tahun (seumuran doang sama aku!!), itu ga menghalangi nya menampilkan tokoh Kaneki dengan sangat bagus.

Kalian harus lihat akting nya saat dia lapar luar biasa sampe gemeteran tapi dia jijik setengah mati dengan daging manusia yang ada di hadapannya. Atau saat dia membabi buta makan makanan manusia kemudian muntah-muntah karena enzim lidahnya ga lagi bisa menolerir makanan manusia. Yang paling berkesan adalah adegan dimana dia ngeliat temannya berdarah-darah dan tanpa bisa dibendung, nafsu brutal-nya sebagai manusia setengah Ghoul hampir membutakan sisi manusia-nya. Adegan dia melet-melet dan ketawa-ketawa sendiri liat "hidangan" lezat di hadapannya itu briliant banget! Di saat yang sama aku ngeri, jijik tapi juga kagum dengan kemampuan akting-nya. 

Fumika Shimizu as Touka

Akting para pemeran lainnya juga mencuri perhatian. Fumika Shimizu, pemeran Touka yang tomboi dan dingin meyakinkan sekali dalam mewujudkan karakteristik Touka versi manga. Aku suka banget akting-nya saat dia menahan diri untuk ga muntah karena makan makanan manusia bikinan sahabatnya —yang mana sahabatnya adalah manusia, karena dia sayang sama sahabatnya. Tapi di sisi lain dia ga segan-segan matahin tulang-tulang Kaneki saat melatihnya menjadi Goul yang kuat. Fumika menampilkan Touka yang dingin tapi baik hati dengan sangat bagus. Artis ini memang berbakat, kebetulan aku pernah lihat penampilannya di film lain, Girl In The Dark. Akting nya disana sebagai psikopat bertampang innocent bagus banget. Aku masih ngeri dengan seringai-nya di film itu sampai sekarang. Ga heran ketika menampilkan monster beneran dalam Tokyo Ghoul, dia bermain total. Kayanya dia emang cocok dengan karakter antagonis yang dingin. 

Nobuyuki Suzuki as Kotaro Amon
Yo Oizumi as Mado

Tidak ketinggalan artis cilik yang memerankan Ghoul muda bernama Hinami. Dia persis dengan Hinami yang ada dalam manga. Sementara pemeran CCG CS yaitu Yo Oizumi sebagai Mado cukup lumayan. Dia ga senyentrik Mado di manga tapi cukup realistis menurutku. Sementara Kotaro Amon yang diperankan oleh Nobuyuki Suzuki menurutku kurang nendang. Kece sih (baca: ganteng) tapi Amon ga butuh jadi ganteng. Dia butuh jadi manusia berdarah dingin dan no ekspersi. Di film Nobuyuki cenderung berakting galak dan gila kerja. But, it's not a big problem karena tertutupi dengan plot yang rapi dan dengan setia mengikuti versi manga-nya. 

Jujur saat nonton ini aku hampir lupa plot Tokyo Ghoul ini seperti apa. Yang aku ingat cuma Kaneki diterkam Rize saat kencan dan Kaneki berubah jadi setengah Ghoul. Setelah itu aku banyak lupa-nya (secara aku trakir baca manga-nya sekitar tahun 2014 yang lalu, yah lupalaahhh). Dengan menonton versi film-nya, ga butuh lama untuk membuat ingatan-ku kembali. Inilah poin yang paling aku suka dari versi film-nya. Mereka setia dengan versi manga-nya. Memang ada beberapa kelemahan, seperti beberapa informasi crucial luput untuk ditekankan dalam film-nya. Contohnya, pendonor organ Kaneki adalah Rize. Dalam manga hal ini ditekankan sedemikian rupa karena itu berpengaruh dalam perkembangan karakter Kaneki. Juga alasan kenapa Kagune milik Kaneki sama dengan Kagune Rize. Sementara dalam film, hal ini secara tersirat disampaikan melalui wawancara dokter yang melakukan operasi Kaneki dengan wartawan di televisi. 

Kedua, adegan pertarungan antara Kaneki dengan senior di kampusnya, Nishiki Nishio (yang ternyata adalah Ghoul, oh dunia ini sempit ya ga di manga ga di dunia nyata) yang seharusnya bertempat di lorong sempit dan gelap —yang mana jauh dari peradaban manusia biar ga menarik perhatian, di versi film malah bertempat di area kampus. Sepanjang mereka tarung yang ada dalam pikiranku cuma: Masa sih ga ada satu mahasiswa pun yang denger keributan yang mereka bikin? 

Emang sih lokasinya terpencil dan kayanya di basement gitu. Tapi hellooo, itu kan ruangan klub? Nishio-nya sebelumnya lagi asik bercumbu dengan cewek pula waktu Kaneki dan temennya ga sengaja masuk. Masa iya ga seorangpun ga sengaja lewat atau gimana justru di saat mereka bikin keributan seheboh itu? Kaneki ada kali dibanting lima kali lebih sama Nishio. Bahkan Kagune mereka berdua sempet menembus dinding sama lantai. Masa iya ga seorangpun denger? Tapi ya merem ajalah, anggep saat itu semua orang memutuskan ga ada salahnya jadi tuli sesaat dibanding menjemput mau dengan ngintipin dua Ghoul sedang asik saling bunuh sampe mati. 



Ngomong-ngomong soal Kagune —bisa dibilang ini salah satu aspek penting dalam Tokyo Ghoul, aku punya ekspektasi cukup tinggi dalam melihat perwujudan Kagune versi live action. Karena Kagune ini keren-keren bentuknya! Kagune ada bermacam-macam. Salah satu yang jadi favoritku adalah Kagune Kaneki —Rinkaku. Bentuknya kaya tentakel, inget gak sama musuh Spiderman yang namanya "Doctor Octopus"? Rinkaku bentuknya mirip banget sama tentakel-nya Doctor Octopus —sementara kenapa punya Kaneki disebut Rinkaku dan berbentuk tentakel sementara punya Touku bentuknya kaya sayap, bisa googling sendiri penjelasannya (males jelasin, panjang broh). Yah, kalau berharap CGI Jepang sebagus versi editan Hollywood pastinya cuma bisa gigit jari ya. Tapi bisa dibilang hasil akhirnya not bad-lah. 

Aku tetap menikmati adegan pertarungan Kaneki sama Amon dengan senjata andalan mereka masing-masing. Kaneki dengan Kagune Rinkaku-nya (yang kali ini keras kaya baja, campuran warna merah dan hitam-nya kece) sementara Amon dengan Quinques-nya (senjata anggota CCG yang dibuat dari Kagune Ghoul yang berhasil mereka bunuh). Quinques Amon masih kalah keren sama punya Mado, tapi okelah. Di adegan ini efek CGI-nya KEREN BANGET, Kaneki nya sendiri ga kalah keren dengan topeng hitam andalannya —yang kemudian jadi trademark Tokyo Ghoul. He looks so badass. Aktingnya saat dia buka topeng untuk gigit Amon itu juga keren gilak, apalagi waktu dia mau "makan" Amon sambil julur-julurin lidah kaya orang kalap. Wow, itu JUARAK deh! 


So far, aku puas dengan versi live action Tokyo Ghoul. Not perfect but not that bad. Emang cuma menceritakan seperempat dari serial Tokyo Ghoul —banyak tokoh-tokoh kunci lain yang ga sempat diceritakan, tapi itu cukup. Mereka memadatkan cerita awal dengan baik. Emang susah untuk menerjemahkan cerita manga ke dalam film, but I think they're doing great. Belum pernah baca manga-nya atau nonton anime-nya tapi pengen liat film-nya? No worry, penonton awam masih bisa mengkuti jalan cerita versi film-nya dengan jelas kok. 

Asal kalian ga keberatan liat adegan berdarah-darah en yang rada-rada gore sih, ga masalah :D Ga biasa liat adegan dimana Ghoul nawarin bola mata manusia buat dicemil sambil lalu? Ya udah jangan nonton hahaha. Karena pemandangan bola mata di atas gelas atau di atas piring untuk disantap memang cukup bikin mual but not in a brutal scene. Aku termasuk yang berperut lemah en bencik adegan gore, tapi Tokyo Ghoul bukan film yang mengdepankan kesadisan. Itu semacam element yang terpaksa ada —secara Ghoul emang makan manusia. At least, I've already warned you. The rest is your choice. I still recommended it anyways. For everyone who love Japanese movies, this movie is yours.

Last but not least, I didn't mean to telling you any spoiler. Tapi maaf beribu maaf kalau dalam review spoiler-nya ga sengaja kesebut. Aku sudah menghindari banyak poin penting sih. Semoga tetep jadi misteri gimana akhirnya. Sebenernya yang penting dari film ini bukan ending-nya happy atau enggak. Tapi tentang memahami arti benar dan salah yang secara halus terus disentil dalam film. Aku suka film yang menekankan pesan yang bikin kita mikir dulu sebelum bertindak. Pesan untuk menekankan penting-nya alasan di balik setiap tindakan, ga melulu tentang menang dan kalah. Tentang si baik dan si jahat. Tapi alasan di balik pilihan-pilihan kita, itulah yang membuat kita belajar mengenai arti salah dan benar. 

So, if you still asking yourself should I watch this movie or not? This movie is worth it to watch! Give it a try! 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...